Sebuah cerita di tempat kami KKN dulu.
"Sebelum pemuda yang biasa memakai baju batik itu datang dari wilayah seberang dan kemudian bekerja sebagai pengawas cuaca di kampung ini, masjid tampak sepi, tidak ada anak-anak mengaji", cerita salah seorang penduduk.
Atas inisiatifnya, pemuda batik itu mengajak anak-anak di sana untuk belajar mengaji.
Begitulah kemudian;
Meja dampar mulai berdiri
Ketukan kalam mulai mengayun
Anak-anak mulai mengaji
Masjid hidup kembali.
Sang empu pengurus terdahulu yang biasa berbaju putih ala arab itu konon merasa tersaingi.
Ia yang gemar memakai jaket bertuliskan “Para Front” dan ternyata memang duduk sebagai salah satu anggotanya mulai menempelkan masjid sebagai bangunan tanah wakaf.
Pemuda batik itu tidak setuju sebuah masjid diatasnamakan organisasi.
Ujung-ujungnya di hadapan para warga, pemuda batik itu mereka tuduh mengajarkan "40-harinan" yang dianggap bidah.
Pemuda batik itu mengalah. Atas bantuan beberapa warga yang bersimpati padanya, dibangunlah sebuah mushola di pekarangan rumah seorang warga dengan material bambu seadanya.
Anak-anak kampung lebih memilih untuk tetap belajar padanya di mushola bambu itu.
dan..
Masjid yang ditinggalkan pun kembali sepi seperti sedia kala, hanya tersisa rutinitas adzan yang memudar
Begitulah....
Saya yang tidak cukup religius ini yakin:
Disaat para pengaku suara tuhan berjaket “Para Front” berbondong-bondong berkumpul dan membakar tempat ibadah, memukuli orang-orang mengatasnamakan Allah SWT dengan pengeras suara, pemuda batik itu lebih memilih untuk memonitoring pergerakan cuaca untuk keselamatan para warga apapun agamanya
dan sorenya.....
di mushola bambu sederhananya, ia mengajarkan anak-anak itu untuk tetap mengaji agar mereka senantiasa cukup menyebut nama Allah SWT dalam hatinya;
“Allahu Akbar"
tanpa kekerasan.