Selasa, 08 Februari 2011

Mushola Bambu


Sebuah cerita di tempat kami KKN dulu.

"Sebelum pemuda yang biasa memakai baju batik itu datang dari wilayah seberang dan kemudian bekerja sebagai pengawas cuaca di kampung ini, masjid tampak sepi, tidak ada anak-anak mengaji", cerita salah seorang penduduk.

Atas inisiatifnya, pemuda batik itu mengajak anak-anak di sana untuk belajar mengaji.

Begitulah kemudian;

Meja dampar mulai berdiri

Ketukan kalam mulai mengayun

Anak-anak mulai mengaji

Masjid hidup kembali.

Sang empu pengurus terdahulu yang biasa berbaju putih ala arab itu konon merasa tersaingi.

Ia yang gemar memakai jaket bertuliskan “Para Front” dan ternyata memang duduk sebagai salah satu anggotanya mulai menempelkan masjid sebagai bangunan tanah wakaf.

Pemuda batik itu tidak setuju sebuah masjid diatasnamakan organisasi.

Ujung-ujungnya di hadapan para warga, pemuda batik itu mereka tuduh mengajarkan "40-harinan" yang dianggap bidah.

Pemuda batik itu mengalah. Atas bantuan beberapa warga yang bersimpati padanya, dibangunlah sebuah mushola di pekarangan rumah seorang warga dengan material bambu seadanya.

Anak-anak kampung lebih memilih untuk tetap belajar padanya di mushola bambu itu.

dan..

Masjid yang ditinggalkan pun kembali sepi seperti sedia kala, hanya tersisa rutinitas adzan yang memudar

Begitulah....

Saya yang tidak cukup religius ini yakin:

Disaat para pengaku suara tuhan berjaket “Para Front” berbondong-bondong berkumpul dan membakar tempat ibadah, memukuli orang-orang mengatasnamakan Allah SWT dengan pengeras suara, pemuda batik itu lebih memilih untuk memonitoring pergerakan cuaca untuk keselamatan para warga apapun agamanya

dan sorenya.....

di mushola bambu sederhananya, ia mengajarkan anak-anak itu untuk tetap mengaji agar mereka senantiasa cukup menyebut nama Allah SWT dalam hatinya;

“Allahu Akbar"

tanpa kekerasan.

Senin, 20 September 2010

CO.IN™

Langgar Jepurun

Koin Buruh
Bekerja mau dibayar seenaknya terus menerus.

Koin Kuli
Bekerja hanya jika ada bayaran.

Koin Berdikari
Bekerja karena memang suka dan koin datang dengan sendirinya.
(tapi siapa yang punya kesabaran berlebih?)

Bu Yah :
"Sabar tambah ngelmu naik setingkat"

"Inggih"

"CRING"

Sabtu, 31 Juli 2010

Cinema Baledeso


Gedung ini hampir punya cerita sama dengan film Cinema Paradiso. Gedung balai desa yang malamnya berubah fungsi menjadi bioskop dengan putaran proyektor mistis dan poster tendangan Barry Prima muda yang bikin para pemuda terpana.

"Kacang...kacang...kacang"

Pedagang kacang rebus akan menyambut di depan pintu masuk setiap penonton bersarung yang mulai bermunculan dari balik kabut. Sinar petromak yang hanya mampu menyinari separuh wajahnya, membuatnya seperti para tokoh dari film bergaya noir.

Misterius...

Semisterius letaknya yang berada jauh di puncak tertinggi perbukitan seribu Pacitan, sebuah tempat dengan dengan kabut yang datang menyelimuti desa mulai pukul lima. Teman saya berkata; “Osama pasti ada di sini ha ha"

Berdiri karena tokoh setempat yang berhasil di perantauan. Satu paket dengan Monumen Sudirman yang bikin keributan.

Dipikir-pikir...

Bersyukur saya pernah berada dalam era hiburan "padang lengo potro/terang karena minyak tanah" dan menjadi bagian dari hidupnya gedung ini. Keterbatasan hiburan di desa membuat warga berusaha menciptakan hiburannya sendiri.

Indahnya...

Ingatan saya, dari semua pertunjukkan seperti pemutaran film, karaoke ibu-ibu PKK atau sendratari gadis pujaan yang membuat saya betah berada di balik panggung untuk sekedar berpapasan menunggu senyum manisnya, pertunjukan wayang orang adalah headline dengan daya tarik terbesar (loh?).

Dari memasang kostumnya, karakternya, peperangannya, apalagi adegan pasukan kera warna-warni muncul ke panggung bertarung melawan segerombolan buto-buto dengan permainan tukang lighting yang main jeglak jeglek saklar sampai kadang konslet.

Histeris...

Pemerannya adalah warga desa sendiri. Yang biasa menjadi penjagal kambing dan sering menakut-nakuti anak-anak kebagian peran menjadi buto, yang biasa jadi hansip kebagian peran menjadi satrio, yang biasa genit kebagian peran menjadi cakil (bapak saya sering kebagian peran ini). Semuanya begitu menyenangkan karena kita melihat peran-peran yang sesuai dengan karakter aslinya masing-masing. Tidak terlihat palsu, tidak terlihat dibuat-buat.

Di lain sisi, gedung ini mengingatkan aura lagu Led Zeppelin dalam proses pencarian drum sound palu dewa yang paling fenomenal “When the levee break”. Gaung begitu terasa dalam ruangan ini. Memberi sentuhan akustik yang kuat. Ada kesenangan yang saya ingat ketika berlarian dari satu ujung ke ujung lainnya dengan memainkan suara kaki yang menggaung. Dulu saya tidak sadar: “that’s my own music

Dan di foto ini dengan segala ketidaksempurnaan teknisnya, saya ingin sedikit memperlihatkan kembali gambaran masa gembira, dimensi gedung dan aura gaungnya, sekedar nostalgia untuk pemotretan pre wedding saudari nomor urut 1 yang juga pernah menjadi bagian masa jaya "Gerak dan Lagu" dari gedung ini.

Ah….

Ada masa ketika dulu desa ini begitu hidup dengan segala kemandirian visual yang masih mengenal dirinya sendiri. Sebelum televisi mulai datang dengan harga murah dan memaksa semua orang menjadi Jakartaism

Dulu.

Kamis, 08 Juli 2010

Showtime27


Trisula Naga Ambuka Bumi.

Kata orang ini usia emas, semoga saja.
Ritual tahunan seperti biasa
Ambil gitar...
Tarik nafas...
Bayangkan 1 tahun kemarin...
Bayangkan 1 tahun kedepan...
Bayangkan 10 tahun kedepan...
Bayangkan 100 tahun kedepan...
Bayangkan 1000 tahun kedepan...

Show time!!

I'm a gamblin' man - Lonnie Donegan

I'm a gamblin' man
I'm a gamblin' man

I'm a gamblin' man man man
I'm a gamblin' man man man
I'm a gamblin' man man man

I'm a gamblin' man

I'm a gamblin' man man man
I'm a gamblin' man man man
I'm a gamblin' man man man

I'm a gamblin' mannnnnnnnn

"BUMMZZ"

Ledakan dua meriam ke udara.

Salto dari tempat tidur.

Lahir kembali.

Minggu, 02 Mei 2010

Lir-ilir


Lir-ilir-lir ilir tandure wes sumilir
Waktunya sudah datang

Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar
Begitu berkilau semangatnya seperti manusia baru

Cah angon cah angon peneken belimbing kuwi
Jiwa-jiwa yang bebas raihlah impianmu

Lunyu-lunyu yo peneken
Sesulit apapun teruslah panjat

Kanggo ngumbah dodotiro-dodotiro,dodotiro-dodotiro
Untuk memahami arti hidup sebenarnya

Kumithir bedah ing pinggir
Ketika hambatan datang

Damono jlumatono
Teruslah bersemangat, jangan sampai padam cita-citamu

Kanggo sobo mengkosore
Untuk mengukir sejarahmu sendiri

Mumpung padhang rembulane
Selagi masih muda dan terang-terangnya

Mumpung gede kalangane
Selagi masih luas kesempatannya

Yo surako-surak hiyo
Agar ketika ajal menjemput kamu bisa berteriak "Heil Hargo!!!"

Selasa, 02 Februari 2010

Fight One More Round


Mulanya ini hanya kekesalan susahnya magang, kekesalan dengan materi statis kampus, kekesalan bodohnya berurusan dengan IPK, kekesalan menjadi mahasiswa tak patuh absensi, tapi di balik itu adalah kesenangan melakukan masturbasi dengan sesuatu bernama: “iklan!”

Tak ingin cukup bersertifikat dan undangan manten berlabel sarjana, apalagi menunggu panggilan magang yang tak kunjung tiba. Darah muda membuat kita ingin mencoba sesuatu yang lebih menantang!

Cerita dimulai

Seminggu sekali kita mencoba berkumpul. Membawa buku, majalah, buku sisa produksi iklan biro beneran pemberian almarhumah Anggeng dan membahasnya di kedai kopi dekat perempatan jalan tempat waria bersemangat tinggi biasa mangkal dan berusaha menjual dada palsunya (entah kenapa kadang saya merasa menjadi waria itu)

Menu kopi pahit tapi saya pilih teh

Pinasthika. Festival iklan Indonesia yang mungkin paling dicinta, ya setidaknya ia memberikan orang sedikit ruang terjangkau untuk mengenal dunia iklan yang konon sering dipindah channelnya ketika ia tiba. Kami menggarisi namanya besar-besar sebagai tujuan dari setiap berkumpul. Tak peduli beberapa orang bilang Pinasthika tak seberapa levelnya, bagi kami ia tetap istimewa, mengajarkan kemandirian, sesuatu yang harus kami pelajari dalam proses kami dan bukan cuma berlindung pada berbagai kemudahan yang diberikan institusi tempat kuliah atau bekerja.

Brief kami sederhana (Jogja brief); kita menggeletakkan uang seribu di meja kemudian mulai bertanya uang seribu tadi akan jadi karya apa? Dan itulah yang kami lakukan di meja warung kopi tersebut.

Dua bulan sebelum hari H, kami bergerak berinisiatif, ber-
scam ria. Menulis daftar perusahaan-perusahaan yang kiranya sesuai dengan idenya, mencari alamat-alamat LSM-LSM sampai dikira intel. Berusaha bertemu langsung dengan pimpinannya, ada yang meminta proposal, ada yang menceramahi konsepnya karena dianggap salah mendefinisikan gender, bahkan ada yang meminta presentasi. Tidak semua disetujui.

Waktu itu rasanya susah sekali meskipun sekedar menumpang nama. Hari-hari seperti dihabiskan mencari ijin saja (beberapa tetap berusaha kami jual), belum lagi dengan sikap beberapa teman yang seringnya kepanasan menjadi merasa tidak yakin (seperti biasa) dengan apa yang kami lakukan dan terpaksa harus disemangati berkali-kali. Bahkan di eksekusi terakhir tinggal beberapa saja yang datang. “Pasti ada hasilnya” keyakinan saya waktu itu seperti itu, sambil terus menggergaji lemari pribadi untuk iklan batik.

Hari dan jam terakhir pengumpulan akhirnya 5 entry iklan media non konvensional berhasil didaftarkan terburu-buru. Kami memilih untuk fokus pada kategori ini karena tidak dibutuhkan publikasi di media massa yang akan memakan pendanaan lebih besar (lha buat patungan biaya produksi dan pendaftaran aja masih ngos-ngosan disamping malas berurusan dengan kampus). Dalam pikiran saat itu kategori media iklan non konvensional hanya memerlukan dokumentasi publikasi di tempat sehingga pengumpulan entry tidak menyalahi aturan festival.

Beberapa konsep iklan TVC, cetak dan radio kami simpan kembali.


Malam penganugerahan 8 Agustus 2009. Ini adalah taruhan untuk masuk ke dalam dunia iklan atau melupakannya dan menjadi pengusaha tambal ban seluruh Indonesia. Rasanya bergemuruh dada ini ketika pengumuman memasuki kategori iklan media nonkonvensional meskipun sebelumnya dari hasil pengumuman finalis, dengan 4 karya yang masuk kami tahu akan mendapat medal.

Dan inilah saatnya tulisan pembawa acara itu itu berubah menjadi suara :

“HW&GM Indonesia - Kaos Keris - SILVER
plok plok plok maju ke panggung
“HW&GM Indonesia - Gatotkaca, Dasamuka, Sembadra - GOLD
plok plok plok maju ke panggung
“HW&GM Indonesia - Cobalah Batik - GOLD
plok plok plok maju ke panggung
“HW&GM Indonesia - Gatotkaca, Dasamuka, Sembadra - Best of Unconventional Media, GOLD
plok plok plok maju ke panggung

“HW&GM Indonesia - AGENCY OF THE YEAR 2009"
plok plok plok berat rasanya kaki ini ke panggung untuk ukuran gerombolan mahasiswa

Ahh sampai sekarang gemuruh tepuk tangan itu masih terasa di kuping

Dari 5 entry yang didaftarkan, kami mendapat 5 medal. Saya segera menghubungi orang tua dan menjelaskan kenapa lulus lama.
Janji saya akan memberikan kesuksesan dua kali lebih besar dibanding anak lain yang lulus kuliahnya dua kali lebih cepat sedikit terlihat menurut versi sepihak.

Malam itu serasa mabuk kepayang, merayakannya di tempat termewah; “angkringan” mabuk es teh. Sambil lesehan seluruh piala ditaruh berjajar di atas tikar di pinggir jalan, setiap orang yang lewat pasti akan mengira kami menang pertandingan sepak bola atau lomba lari. Kami benar-benar sombong malam itu. Wes ben.


Menjelang pagi kami jadikan wallpaper komputer foto almarhum yang sudah memberikan nasehat “jika kamu membenci sesuatu, berusaha datang masuk ke sarangnya dan perbaiki dia dengan apa yang kamu yakini”. Piala-piala itu kami pajang tepat di depannya. Saya tahu dia di agency semesta abadi sana pasti bangga.

Citra Pariwara 2009.

Malam itu kembali berkumpul, memutuskan apakah ikut atau tidak dalam festival ini. Kami yakin dengan entry yang kami miliki, kesempatan mendapatkan medal itu ada. Tapi malam itu, sebagian dari kami sudah merasa tidak nyaman. Cerita yang beredar sebagian sudah menjadi takabur tidak lebih dari sehari, sebagian masih bisa memahami untuk apa tujuan semula, sebagian pasif seperti biasa.


Malam dengan suguhan mie rebus ayam bawang


Digaris bawahi kalimat; “Cukup di sini saja tak usah ke Citra Pariwara”. Lebih baik malam itu mundur selangkah untuk lompatan yang lebih jauh, berusaha menjadi kuat atau minimal memberi kesempatan memperbaiki sesuatu menjadi makin baik dengan teguran yang berbeda. Jika mengingat wejangan James Corbett "To become a champion, fight one more round" maka ronde selanjutnya adalah melawan attitude diri kami terlebih dahulu. Citra Pariwara dan yang lainnya bisa menunggu disaat yang tepat.


Tapi kami masih bahagia dan bangga dengan yang kami lakukan

Kebanggaan seumur hidup yang rasanya tak berlebihan kami sematkan

Karena melakukannya dengan tangan kami sendiri

Maturnuwun Gusti

Maturnuwun.

Saya suka skenario yang ini.

Minggu, 03 Januari 2010

O.K


Saya dengar cuma perlu tiga hal untuk berhasil :
1. Cita-cita yang besar.
2. Kerja keras.
3. Keyakinan akan terwujud.

Pasti atau tidak sama sekali.

Tapi saya dengar juga :
The person who doesn't make mistakes is unlikely to make anything.

Proses. Saya siap.